SURVIVAL KIT
Yuk, mulai bikin survival kit supaya kita dan keluarga lebih siap menghadapi bencana.
1. copy dokumen2 penting (KTP, KK, ijazah, surat nikah, buku rekening, wasiat)
2. Sarung tangan untuk penyelamatan darurat
3. Emergency blanket (untuk korban trauma, maupun untuk sinyal SOS)
4. Cable tie (banyak sekali kegunaannya untuk mengikat2, mulai dari bikin tenda sampai menstabilkan korban patah tulang)
5. Terpal ringan dan talinya, bisa dijadikan tenda maupun alas duduk
6. Kantung waterproof (drybag)/ransel kapasitas minimal 15L untuk menyimpan semuanya, sebaiknya berwarna terang
7. Kapak/golok untuk upaya penyelamatan, kayu bakar, maupun membela diri dari hewan liar/lapar
8. Peluit (sebaiknya yang multiguna, ada kompas, lensa api)
9. Fire steel/besi pembuat api (perlu belajar pemakaiannya). Korek api biasa sulit diandalkan.
10. Utility knife (pisau serbaguna)
11. Filter air (ini mahal tapi PENTING sekali. Sulit mencari air bersih saat banjir, tsunami, gempa. Toh satu filter bisa menyaring ribuan liter air jadi siap minum).
12. Wadah air collapsible (bisa dilipat) minimal 5L
13. Powerbank kapasitas besar dan kabelnya
14. Headlamp/senter dan batere cadangannya
15. Lampu penerangan tenaga matahari (PV) dan/atau lilin (berguna juga untuk membuat api unggun)
16. Alat kebersihan: sikat gigi, handuk/kanebo (badan basah berisiko hipotermia), sabun, hand sanitizer
17. Obat-obatan dengan fokus pada 3 hal: pengobat luka luar (perban, antiseptik, plester), obat diare (oralit, norit) serta pengusir nyamuk di ruang terbuka (risiko malaria/DB).
Yang belum ada: makanan untuk 4 hari (disesuaikan jumlah keluarga, termasuk hewan peliharaan). Ransum surplus militer sangat ideal sebenarnya, tapi dapetnya susah. Bisa diganti sereal, kornet, atau makanan kalengan lain yang padat energi dan mudah disiapkan (selamat tinggal mi instan).
(EDIT 1: sedia 2 stel pakaian juga per orang, terutama jaket untuk daerah dingin, atau pakaian cepat kering untuk daerah panas. Juga PENTING: personal higiene seperti pembalut). Cek paling tidak tiap 3 bln.
Selasa, 09 Oktober 2018
Jumat, 09 Mei 2008
The End of Price Image*
Akhir-akhir ini ada tren perusahaan-perusahaan besar melakukan mark-down terhadap beberapa merek mereka yang tergolong kuat. Ada Pantene dan Vicks Vaporub dari P & G, kemudian diikuti sampo Lifebuoy dari Unilever. Yang menarik, strategi penurunan harga itu dikomunikasikan kepada konsumen melalui iklan TV secara gencar. Muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak menurunkan citra merek (brand image) yang bersangkutan?
Marlboro pernah melakukan hal yang sama: menurunkan harga. Hal itu dilakukan karena ia digempur kemasan private label di Amerika Serikat. Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah. Bukan karena khawatir orang berpindah dari Marlboro ke private label, melainkan agar citra mereknya yang sangat kuat tidak pindah ke merek lain. Bagi Marlboro, bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokok yang paling banyak dikonsumsi orang akan luntur.
What you pay and what you get or value for money ternyata memang bisa melunturkan kekuatan merek dan brand loyalty suatu produk. Keputusan monumental eksekutif Marlboro ini pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, seperti profit, efektivitas dan citra mereknya.
Sejak tahun 1970-an, terjadi shift to value ketika produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi kualitas bagus. Keberhasilan produk-produk Jepang itu mengubah persepsi orang bahwa harga lebih murah pasti barangnya jelek. Dell yang sejak awal mengikuti strategi itu kini merupakan salah satu merek terkuat. Southwest Airline yang memperkenalkan tarif murah juga demikian. Bahkan Wal-Mart yang dulu diragukan, kini dipersepsikan sebagian besar konsumen AS sebagai memiliki comparable-quality fresh foods dan a good store brands.
Ini makin memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan. Persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, misalnya, apakah sebagai produk yang dikeluarkan oleh produsen yang tidak efisien atau produk tersebut berkualitas tinggi. Pertanyaan ini membuat makin sulit melakukan pembenaran hubungan antara kualitas dan harga itu sendiri. Para pengelola supermarket paham benar bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk tepung, roti atau wortel berkualitas lebih tinggi. Hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk yang berkualitas lebih tinggi.
Selama ini ada konsepsi bahwa loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga. Teori ini yang dipegang para pemasar sejak dulu. Apakah teori ini tetap berlaku apabila di pasar bermunculan kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau? Hal ini yang menjadi acuan pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen yang makin realistis makin sadar akan value for money.
Kasus Pantene bisa menjadi contoh dari the end of price image. Pasar sampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini menjadikan harga sebagai key succes factor. Pantene masuk pasar dengan harga jauh di atas si pemimpin pasar Sunsilk dan si emerging brand Clear yang sedang tumbuh. Dengan kualitas jauh di atas pemimpin, Pantene bisa masuk pasar baik dengan botol maupun sachet.
Namun, dalam perjalanan waktu, tampaknya para eksekutif P & G melihat kerdilnya pangsa pasar Pantene di Indonesia karena harga yang dipasang kelewat tinggi. Sehingga setelah melalui berbagai analisis mendalam, P & G akhirnya menurunkan harga cukup signifikan. Hasilnya, konon Pantene saat itu benar-benar sold-out.
Saya atau pembaca mungkin meragukan pernyataan itu. Namun, belakangan saya melihat sukses-tidaknya langkah revolusioner ini dari pengulangan penurunan harga produk P & G yang lain, yakni obat batuk Vicks Vaporub. Bayangan saya, kalau strategi itu gagal atau malah menggerogoti profit mereka, tentunya mereka tidak akan mengulanginya.
Selama beberapa lama, mereka terperangkap pemikiran bahwa konsumen loyal pasti mau membayar berapa pun untuk merek. Itu sebabnya, mereka bersikeras mempertahankan harga tinggi. Mereka asyik menikmati kampanye bertemakan â€Jangan ragu membeli produk berharga mahal kalau mau sembuhâ€. Namun dengan makin banyak dan gencarnya pesaing, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan pangsa pasar, mereka sadar harga Vicks terlalu mahal.
Belajar dari kesuksesan Marlboro dan Pantene, tim P & G akhirnya sadar sepenuhnya bahwa konsumen loyal mengerti soal value for money dan brand loyalty tidak berdiri sendiri, tapi sangat dipengaruhi kompetitor. Teori elastisitas harga suatu produk kini harus diubah dengan faktor kompetitor terdekat. Sehingga, para pemimpin pasar hendaknya tidak terlalu berambisi menaikkan harga produk karena keyakinan brand loyalty yang tinggi. Konsumen kini lebih pintar dan lebih aware terhadap value for money.
Terbukti Unilever mulai meniru langkah penurunan harga dengan menurunkan produk Lifebuoy. Bagi konsumen, penurunan harga bukan penurunan kualitas dan citra. Sebaliknya, konsumen bisa jadi malah menganggap penurunan harga sebagai keberpihakan pemilik merek pada mereka.
Apalagi, bila langkah tersebut kemudian dikomunikasikan, konsumen malah jadi tambah loyal. Itu yang terjadi pada Carrefour di Indonesia. Coba tanya bagaimana konsumen mencitrakan Carrefour, saya yakin tidak akan jauh beda dari supermarket Hero misalnya. Bahkan, Carrefour mempunyai nilai tambah sebagai merek yang berpihak pada konsumen.
Implikasi dari fenomena ini adalah teori bahwa naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 90% menjadi kuno dan berbahaya. Ini kalau diinterpretasikan bahwa kalau konsumen loyal, pemilik merek bisa seenaknya menaikkan harga untuk menaikkan profit.
Kapan keputusan penurunan harga harus dilakukan dan siapa yang berhak memutuskan keputusan strategis ini? CEO-lah yg harus memutuskan langkah ini. Mengapa? Karena, pemasar tradisional cuma bisa berpikir menaikkan harga. Dari selisih kenaikan harga, mereka bisa melakukan kampanye ke konsumen secara besar-besaran supaya konsumen tetap terbujuk membeli dan tidak berpindah ke merek lain.
Kalau arahnya terbalik, tak salah kalau pangsa pasar Vicks hancur dan langkah tidak favourable ini dilakukan. Hati-hati, para CEO. Kalau pangsa pasar turun tahun demi tahun, segera minta laporan lengkap. Jangan cuma brand awareness, brand loyalty, atau consumer satisfaction. Minta juga price brand mapping-nya.
*www.swa.co.id
Marlboro pernah melakukan hal yang sama: menurunkan harga. Hal itu dilakukan karena ia digempur kemasan private label di Amerika Serikat. Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah. Bukan karena khawatir orang berpindah dari Marlboro ke private label, melainkan agar citra mereknya yang sangat kuat tidak pindah ke merek lain. Bagi Marlboro, bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokok yang paling banyak dikonsumsi orang akan luntur.
What you pay and what you get or value for money ternyata memang bisa melunturkan kekuatan merek dan brand loyalty suatu produk. Keputusan monumental eksekutif Marlboro ini pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, seperti profit, efektivitas dan citra mereknya.
Sejak tahun 1970-an, terjadi shift to value ketika produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi kualitas bagus. Keberhasilan produk-produk Jepang itu mengubah persepsi orang bahwa harga lebih murah pasti barangnya jelek. Dell yang sejak awal mengikuti strategi itu kini merupakan salah satu merek terkuat. Southwest Airline yang memperkenalkan tarif murah juga demikian. Bahkan Wal-Mart yang dulu diragukan, kini dipersepsikan sebagian besar konsumen AS sebagai memiliki comparable-quality fresh foods dan a good store brands.
Ini makin memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan. Persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, misalnya, apakah sebagai produk yang dikeluarkan oleh produsen yang tidak efisien atau produk tersebut berkualitas tinggi. Pertanyaan ini membuat makin sulit melakukan pembenaran hubungan antara kualitas dan harga itu sendiri. Para pengelola supermarket paham benar bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk tepung, roti atau wortel berkualitas lebih tinggi. Hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk yang berkualitas lebih tinggi.
Selama ini ada konsepsi bahwa loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga. Teori ini yang dipegang para pemasar sejak dulu. Apakah teori ini tetap berlaku apabila di pasar bermunculan kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau? Hal ini yang menjadi acuan pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen yang makin realistis makin sadar akan value for money.
Kasus Pantene bisa menjadi contoh dari the end of price image. Pasar sampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini menjadikan harga sebagai key succes factor. Pantene masuk pasar dengan harga jauh di atas si pemimpin pasar Sunsilk dan si emerging brand Clear yang sedang tumbuh. Dengan kualitas jauh di atas pemimpin, Pantene bisa masuk pasar baik dengan botol maupun sachet.
Namun, dalam perjalanan waktu, tampaknya para eksekutif P & G melihat kerdilnya pangsa pasar Pantene di Indonesia karena harga yang dipasang kelewat tinggi. Sehingga setelah melalui berbagai analisis mendalam, P & G akhirnya menurunkan harga cukup signifikan. Hasilnya, konon Pantene saat itu benar-benar sold-out.
Saya atau pembaca mungkin meragukan pernyataan itu. Namun, belakangan saya melihat sukses-tidaknya langkah revolusioner ini dari pengulangan penurunan harga produk P & G yang lain, yakni obat batuk Vicks Vaporub. Bayangan saya, kalau strategi itu gagal atau malah menggerogoti profit mereka, tentunya mereka tidak akan mengulanginya.
Selama beberapa lama, mereka terperangkap pemikiran bahwa konsumen loyal pasti mau membayar berapa pun untuk merek. Itu sebabnya, mereka bersikeras mempertahankan harga tinggi. Mereka asyik menikmati kampanye bertemakan â€Jangan ragu membeli produk berharga mahal kalau mau sembuhâ€. Namun dengan makin banyak dan gencarnya pesaing, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan pangsa pasar, mereka sadar harga Vicks terlalu mahal.
Belajar dari kesuksesan Marlboro dan Pantene, tim P & G akhirnya sadar sepenuhnya bahwa konsumen loyal mengerti soal value for money dan brand loyalty tidak berdiri sendiri, tapi sangat dipengaruhi kompetitor. Teori elastisitas harga suatu produk kini harus diubah dengan faktor kompetitor terdekat. Sehingga, para pemimpin pasar hendaknya tidak terlalu berambisi menaikkan harga produk karena keyakinan brand loyalty yang tinggi. Konsumen kini lebih pintar dan lebih aware terhadap value for money.
Terbukti Unilever mulai meniru langkah penurunan harga dengan menurunkan produk Lifebuoy. Bagi konsumen, penurunan harga bukan penurunan kualitas dan citra. Sebaliknya, konsumen bisa jadi malah menganggap penurunan harga sebagai keberpihakan pemilik merek pada mereka.
Apalagi, bila langkah tersebut kemudian dikomunikasikan, konsumen malah jadi tambah loyal. Itu yang terjadi pada Carrefour di Indonesia. Coba tanya bagaimana konsumen mencitrakan Carrefour, saya yakin tidak akan jauh beda dari supermarket Hero misalnya. Bahkan, Carrefour mempunyai nilai tambah sebagai merek yang berpihak pada konsumen.
Implikasi dari fenomena ini adalah teori bahwa naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 90% menjadi kuno dan berbahaya. Ini kalau diinterpretasikan bahwa kalau konsumen loyal, pemilik merek bisa seenaknya menaikkan harga untuk menaikkan profit.
Kapan keputusan penurunan harga harus dilakukan dan siapa yang berhak memutuskan keputusan strategis ini? CEO-lah yg harus memutuskan langkah ini. Mengapa? Karena, pemasar tradisional cuma bisa berpikir menaikkan harga. Dari selisih kenaikan harga, mereka bisa melakukan kampanye ke konsumen secara besar-besaran supaya konsumen tetap terbujuk membeli dan tidak berpindah ke merek lain.
Kalau arahnya terbalik, tak salah kalau pangsa pasar Vicks hancur dan langkah tidak favourable ini dilakukan. Hati-hati, para CEO. Kalau pangsa pasar turun tahun demi tahun, segera minta laporan lengkap. Jangan cuma brand awareness, brand loyalty, atau consumer satisfaction. Minta juga price brand mapping-nya.
*www.swa.co.id
Selasa, 06 Mei 2008
4G Marketing*
Bulan Maret ini dan bahkan mungkin tahun ini, tiada berita lain yang lebih menghebohkan selain pembelian 40% saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMS), oleh Philip Morris senilai Rp 18,6 triliun. Banyak yang bertanya-tanya tentang penjualan ini karena selama ini kinerja HMS cukup meyakinkan.
HMS yang tahun ini memasuki usia ke-92 serta generasi keempat Keluarga Sampoerna - Liem Seeng Tee, generasi kedua Aga Sampoerna, generasi ketiga Putera Sampoerna dan generasi keempat Michael Sampoerna - bukanlah perusahaan biasa, melainkan perusahaan keluarga yang telah menjadi panutan banyak perusahaan di Indonesia.
Bagi saya sebagai orang pemasaran, keberhasilan HMS menjual sahamnya premium 20% di atas harga pasar menunjukkan bagaimana investasi merek akhirnya membuahkan hasil. Banyak yang tidak mengetahui bagaimana Putera Sampoerna sudah mulai berpikir tentang membangun merek di akhir 1980-an saat pemasar di Indonesia dan bahkan dunia masih belum berbicara tentang merek.
Sejak akhir 1980-an, Putera mengubah HMS dari perusahaan manufacturing-driven menjadi perusahaan market-driven. Di sini ia merintis beberapa langkah terobosan: membangun ekuitas merek Sampoerna sebagai merek korporat serta mengembangkan portofolio merek HMS dengan strategi branding yang sistematis dan sistem distribusi yang solid.
Lihat saja, bagaimana Putera membenahi saluran distribusinya dan tak tergantung lagi pada agen. Upaya merombak sistem distribusi lama HMS dengan menghilangkan agen dari rantai distribusi dan kemudian menggantinya dengan sistem distribusi yang dibangun dan dimiliki perusahaan sendiri.
Rasanya sulit sekali, bahkan tidak mungkin, HMS akan mampu menjalankan strategi market-driven tanpa dukungan sistem distribusi yang solid. Ambil contoh A Mild. Rasanya mustahil rokok yang diluncurkan tahun 1989 ini mampu menuai sukses seperti sekarang tanpa dukungan ketersediaan produk yang tersebar luas di seluruh Tanah Air; aktivitas merchandising yang sangat agresif di gerai-gerai; juga aktivitas staf pemasaran lapangan yang terus memantau perilaku konsumen dan manuver pesaing.
Bahkan, pada pertengahan 1980-an Putera telah merintis program yang secara sistematis diarahkan untuk membangun merek korporat dengan membentuk Marching Band Sampoerna. Puncak kampanye corporate branding ini adalah saat Marching Band Sampoerna tampil sebagai kelompok pertama dari Indonesia pada perayaan Tahun Baru, parade Tournament of Roses di Pasadena, Kalifornia.
Tidak tanggung-tanggung, sekitar US$ 1 juta dikeluarkan untuk membentuk marching band ini. Tujuan kampanye yang dinamai "The Band is the Brand" ini adalah untuk mendongkrak ekuitas merek Sampoerna, mengingat waktu itu konsumen lebih mengenal merek Dji Sam Soe ketimbang Sampoerna. Tujuan yang lain adalah mempersiapkan HMS melenggang di bursa saham. Untuk sukses di bursa saham, perusahaan tak cukup hanya membangun merek produk, yang justru lebih penting adalah merek korporat dan kredibilitas korporat.
Putera ternyata adalah seorang brand builder yang piawai. Setelah kampanye corporate branding "The Band is the Brand" menuai sukses, ia memanfaatkan momentum kesuksesan ini untuk memulai kampanye branding yang lain, yaitu product branding, terutama untuk produk A Mild yang meluncur di pasar tahun 1989.
Pada saat pendirian marching band tersebut, saya yang masih bekerja di HMS sebagai Direktur Distribusi dan teman-teman terus terang tidak habis pikir, buat apa perusahaan menghabiskan uang sebanyak itu untuk pembentukan dan pengiriman marching band. "Apakah ini bukan pemborosan?" Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak kami. Namun, Putera justru mengatakan, "It's the cheapest way to build our corporate brand."
Dan Maret ini akhirnya perkataan Putera terbukti, investasi merek yang dilakukan HMS menghasilkan harga premium 20% di atas harga pasar. Melihat perjalanan HMS yang luar biasa dan layak menjadi panutan bagi pemilik merek di Indonesia ini, akhirnya saya pun tergerak untuk menuliskan berbagai rahasia dan resep di balik semua fenonema merek HMS tersebut dalam buku yang saya beri judul 4G Marketing - A 90-year Journey of Creating Everlasting Brands.
Berbagai resep sukses HMS ini seharusnya dapat menjadi inspirasi bagi pemilik merek di Indonesia, khususnya Grup Martha Tilaar (GMT) yang memperkenalkan konsep direct selling dengan merek Thalia-nya. Thalia Direct Selling (TDS) yang akhirnya juga menjual produk GMT lainnya menunjukkan bagaimana perusahaan ini mencoba menguasai sistem distribusinya, tetapi itu saja jelas tidak cukup.
Putera memberikan contoh bagaimana investasi merek justru berperan penting dan akan sangat membantu untuk mengeluarkan merek produk yang baru. Pergerakan GMT dengan TDS-nya merupakan manuver yang cerdik. Yang justru harus difokuskan di masa mendatang adalah bagaimana TDS bisa menjadi brand channel untuk membangun merek GMT sehingga bukan hanya menjadi jalur distribusi alternatif, tetapi justru juga menjadi bagian dari investasi merek GMT yang akhirnya dapat menghindari kanibalisasi seperti yang banyak dikhawatirkan.
Masih tidak percaya dengan merek sebagai value indicator Anda? Membangun everlasting brand seperti yang dilakukan HMS memang tidak mudah. Belajarlah dari rahasia sukses HMS yang saya sebut sebagai 4G Marketing yang akhirnya menghasilkan harga premium tersebut.
*www.swa.co.id
HMS yang tahun ini memasuki usia ke-92 serta generasi keempat Keluarga Sampoerna - Liem Seeng Tee, generasi kedua Aga Sampoerna, generasi ketiga Putera Sampoerna dan generasi keempat Michael Sampoerna - bukanlah perusahaan biasa, melainkan perusahaan keluarga yang telah menjadi panutan banyak perusahaan di Indonesia.
Bagi saya sebagai orang pemasaran, keberhasilan HMS menjual sahamnya premium 20% di atas harga pasar menunjukkan bagaimana investasi merek akhirnya membuahkan hasil. Banyak yang tidak mengetahui bagaimana Putera Sampoerna sudah mulai berpikir tentang membangun merek di akhir 1980-an saat pemasar di Indonesia dan bahkan dunia masih belum berbicara tentang merek.
Sejak akhir 1980-an, Putera mengubah HMS dari perusahaan manufacturing-driven menjadi perusahaan market-driven. Di sini ia merintis beberapa langkah terobosan: membangun ekuitas merek Sampoerna sebagai merek korporat serta mengembangkan portofolio merek HMS dengan strategi branding yang sistematis dan sistem distribusi yang solid.
Lihat saja, bagaimana Putera membenahi saluran distribusinya dan tak tergantung lagi pada agen. Upaya merombak sistem distribusi lama HMS dengan menghilangkan agen dari rantai distribusi dan kemudian menggantinya dengan sistem distribusi yang dibangun dan dimiliki perusahaan sendiri.
Rasanya sulit sekali, bahkan tidak mungkin, HMS akan mampu menjalankan strategi market-driven tanpa dukungan sistem distribusi yang solid. Ambil contoh A Mild. Rasanya mustahil rokok yang diluncurkan tahun 1989 ini mampu menuai sukses seperti sekarang tanpa dukungan ketersediaan produk yang tersebar luas di seluruh Tanah Air; aktivitas merchandising yang sangat agresif di gerai-gerai; juga aktivitas staf pemasaran lapangan yang terus memantau perilaku konsumen dan manuver pesaing.
Bahkan, pada pertengahan 1980-an Putera telah merintis program yang secara sistematis diarahkan untuk membangun merek korporat dengan membentuk Marching Band Sampoerna. Puncak kampanye corporate branding ini adalah saat Marching Band Sampoerna tampil sebagai kelompok pertama dari Indonesia pada perayaan Tahun Baru, parade Tournament of Roses di Pasadena, Kalifornia.
Tidak tanggung-tanggung, sekitar US$ 1 juta dikeluarkan untuk membentuk marching band ini. Tujuan kampanye yang dinamai "The Band is the Brand" ini adalah untuk mendongkrak ekuitas merek Sampoerna, mengingat waktu itu konsumen lebih mengenal merek Dji Sam Soe ketimbang Sampoerna. Tujuan yang lain adalah mempersiapkan HMS melenggang di bursa saham. Untuk sukses di bursa saham, perusahaan tak cukup hanya membangun merek produk, yang justru lebih penting adalah merek korporat dan kredibilitas korporat.
Putera ternyata adalah seorang brand builder yang piawai. Setelah kampanye corporate branding "The Band is the Brand" menuai sukses, ia memanfaatkan momentum kesuksesan ini untuk memulai kampanye branding yang lain, yaitu product branding, terutama untuk produk A Mild yang meluncur di pasar tahun 1989.
Pada saat pendirian marching band tersebut, saya yang masih bekerja di HMS sebagai Direktur Distribusi dan teman-teman terus terang tidak habis pikir, buat apa perusahaan menghabiskan uang sebanyak itu untuk pembentukan dan pengiriman marching band. "Apakah ini bukan pemborosan?" Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak kami. Namun, Putera justru mengatakan, "It's the cheapest way to build our corporate brand."
Dan Maret ini akhirnya perkataan Putera terbukti, investasi merek yang dilakukan HMS menghasilkan harga premium 20% di atas harga pasar. Melihat perjalanan HMS yang luar biasa dan layak menjadi panutan bagi pemilik merek di Indonesia ini, akhirnya saya pun tergerak untuk menuliskan berbagai rahasia dan resep di balik semua fenonema merek HMS tersebut dalam buku yang saya beri judul 4G Marketing - A 90-year Journey of Creating Everlasting Brands.
Berbagai resep sukses HMS ini seharusnya dapat menjadi inspirasi bagi pemilik merek di Indonesia, khususnya Grup Martha Tilaar (GMT) yang memperkenalkan konsep direct selling dengan merek Thalia-nya. Thalia Direct Selling (TDS) yang akhirnya juga menjual produk GMT lainnya menunjukkan bagaimana perusahaan ini mencoba menguasai sistem distribusinya, tetapi itu saja jelas tidak cukup.
Putera memberikan contoh bagaimana investasi merek justru berperan penting dan akan sangat membantu untuk mengeluarkan merek produk yang baru. Pergerakan GMT dengan TDS-nya merupakan manuver yang cerdik. Yang justru harus difokuskan di masa mendatang adalah bagaimana TDS bisa menjadi brand channel untuk membangun merek GMT sehingga bukan hanya menjadi jalur distribusi alternatif, tetapi justru juga menjadi bagian dari investasi merek GMT yang akhirnya dapat menghindari kanibalisasi seperti yang banyak dikhawatirkan.
Masih tidak percaya dengan merek sebagai value indicator Anda? Membangun everlasting brand seperti yang dilakukan HMS memang tidak mudah. Belajarlah dari rahasia sukses HMS yang saya sebut sebagai 4G Marketing yang akhirnya menghasilkan harga premium tersebut.
*www.swa.co.id
Revitalisasi Merek*
Dua penyanyi yang saya kagumi sampai sekarang adalah Rod Stewart dan Chrisye. Walaupun umur mereka tidak muda lagi, penampilan mereka masih tetap funky seperti remaja umur 20-an. Anda tahu apa rahasianya?
Beberapa tahun yang lalu kebetulan saya pernah nonton langsung konser Tonight's the Night Rod Stewart di kawasan Picadilly Circus, London. Sebuah pertunjukan yang menurut saya sangat spektakuler dan experiential.
Ketika itu saya baru tahu, ternyata yang menyukai Rod Stewart bukan saja mereka yang seangkatan dengan saya. Bayangkan, setengah audiens di pertunjukan itu adalah mereka yang masih berusia kepala dua atau tiga, yang mungkin belum lahir ketika penyanyi gaek asal Inggris itu menikmati zaman keemasannya.
Mereka asyik berjoget ria sepanjang pertunjukan dan ikut menyanyikan lagu-lagu yang dilantunkan. Bahkan bisa dibilang, mereka yang muda lebih bisa menikmati konser itu dibanding penonton yang seangkatan dengan Rod Stewart. Maka, saya pun salut pada penyanyi kawakan ini, karena ia memiliki kemampuan me-reinvent dirinya sehingga bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Sama halnya dengan Rod Stewart, Chrisye pun begitu: tidak pernah menjadi "tua". Chrisye mungkin satu-satunya penyanyi di atas 50 tahun yang pernah memperoleh penghargaan dari MTV Indonesia, stasiun teve yang sangat melekat di hati remaja. Hal itu merupakan indikasi betapa kuatnya penerimaan pasar anak muda terhadap Chrisye.
Rod Stewart dan Chrisye adalah dua contoh penyanyi yang young at heart alias tua tapi funky. Seakan-akan memiliki siklus hidup yang tak pernah berhenti, dua penyanyi gaek ini masih bisa terus merevitalisasi merek mereka agar tetap hot di pasar dunia musik yang terus berubah seiring perkembangan zaman.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan revitalisasi merek? Langkah branding ini dimaksudkan untuk menggairahkan kembali atau memberikan energi baru pada suatu merek demi menambah ekuitasnya. Misalnya, setelah sekian lama hilang dari peredaran, bisa saja sebuah merek muncul kembali dengan gebrakan baru untuk menjadikannya hot lagi di pasar. Gebrakan yang bersifat taktikal seperti lewat perubahan konsep komunikasi dan perbaikan produk.
Konsep revitalisasi merek ini saya rasa sangat relevan dengan kasus Sampoerna Hijau. Seperti yang saya ulas dalam buku saya mengenai Sampoerna, 4-G Marketing: a 90-year Journey of Creating Everlasting Brands. Merek sigaret keretek tangan (SKT) kedua dari Sampoerna ini sempat "tidur" selama 32 tahun di pasar akibat kerancuan strateginya. Sampoerna Hijau bisa dibilang terlalu "dekat" dengan kakak kandungnya, Dji Sam Soe, sehingga konsumen pada saat itu menilai merek ini tidak memiliki diferensiasi yang jelas.
Kesuksesan Sampoerna Hijau pun baru nampak setelah ia melakukan strategi rejuvenasi (peremajaan) merek. Setelah merevolusi besar-besaran strategi dan taktik pemasaran, serta memperjelas identitas mereknya pada 1990an, merek ini lantas bangkit dan berhasil menjadi salah satu merek papan atas, tidak hanya bagi Sampoerna, tapi juga di Indonesia.
Selain itu juga muncul karakter Geng Hijau, yang sengaja diciptakan untuk menghubungkan antara Sampoerna Hijau dan target pasarnya. Geng Hijau sepertinya menjadi "duta" dalam program rejuvenasi merek yang terkenal dengan slogan citra (tag line): Asyiknya rame-rame ini.
Tak bisa dipungkiri, lewat Geng Hijau dan sejumlah aktivitas below the line yang kuat, Sampoerna Hijau menjadi merek yang benar-benar rame dan menghangatkan suasana persaingan di industri rokok SKT.
Hasil program peremajaan merek ini tentunya masih terasa hingga sekarang untuk Sampoerna Hijau. Penjualannya pun dikabarkan terus meningkat.
Namun seiring semakin ketatnya persaingan di pasar SKT, tentunya Sampoerna Hijau tidak mau menjadi merek yang boring alias menjenuhkan pasar. Ia tidak bisa hanya mengandalkan konsep komunikasi pemasaran yang selama ini ada. Kalau Geng Hijau digunakan melulu sebagai endorser, mungkin saja pasar nantinya bosan.
Menurut saya, Sampoerna Hijau masih dapat tampil menggairahkan. Syaratnya, merek ini haruslah keluar dengan inovasi baru, atau kalau perlu malah sekalian me-reinvent aturan main baru di industrinya. Dengan begitu, penampilannya sebagai merek yang rame dan hot akan secara konsisten dapat terjaga.
Seperti Rod Stewart dan Chrisye yang seolah-olah tak pernah mati dan telah mencapai beberapa titik kesuksesan dalam siklus hidupnya, Sampoerna Hijau pun harus begitu. Ia harus melakukan break with the immediate past. Artinya, kesuksesan masa lalu sudah berlalu, sekaranglah waktunya berpikir kreatif ke depan untuk bisa menciptakan siklus hidup berikutnya.
*www.swa.co.id
Beberapa tahun yang lalu kebetulan saya pernah nonton langsung konser Tonight's the Night Rod Stewart di kawasan Picadilly Circus, London. Sebuah pertunjukan yang menurut saya sangat spektakuler dan experiential.
Ketika itu saya baru tahu, ternyata yang menyukai Rod Stewart bukan saja mereka yang seangkatan dengan saya. Bayangkan, setengah audiens di pertunjukan itu adalah mereka yang masih berusia kepala dua atau tiga, yang mungkin belum lahir ketika penyanyi gaek asal Inggris itu menikmati zaman keemasannya.
Mereka asyik berjoget ria sepanjang pertunjukan dan ikut menyanyikan lagu-lagu yang dilantunkan. Bahkan bisa dibilang, mereka yang muda lebih bisa menikmati konser itu dibanding penonton yang seangkatan dengan Rod Stewart. Maka, saya pun salut pada penyanyi kawakan ini, karena ia memiliki kemampuan me-reinvent dirinya sehingga bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Sama halnya dengan Rod Stewart, Chrisye pun begitu: tidak pernah menjadi "tua". Chrisye mungkin satu-satunya penyanyi di atas 50 tahun yang pernah memperoleh penghargaan dari MTV Indonesia, stasiun teve yang sangat melekat di hati remaja. Hal itu merupakan indikasi betapa kuatnya penerimaan pasar anak muda terhadap Chrisye.
Rod Stewart dan Chrisye adalah dua contoh penyanyi yang young at heart alias tua tapi funky. Seakan-akan memiliki siklus hidup yang tak pernah berhenti, dua penyanyi gaek ini masih bisa terus merevitalisasi merek mereka agar tetap hot di pasar dunia musik yang terus berubah seiring perkembangan zaman.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan revitalisasi merek? Langkah branding ini dimaksudkan untuk menggairahkan kembali atau memberikan energi baru pada suatu merek demi menambah ekuitasnya. Misalnya, setelah sekian lama hilang dari peredaran, bisa saja sebuah merek muncul kembali dengan gebrakan baru untuk menjadikannya hot lagi di pasar. Gebrakan yang bersifat taktikal seperti lewat perubahan konsep komunikasi dan perbaikan produk.
Konsep revitalisasi merek ini saya rasa sangat relevan dengan kasus Sampoerna Hijau. Seperti yang saya ulas dalam buku saya mengenai Sampoerna, 4-G Marketing: a 90-year Journey of Creating Everlasting Brands. Merek sigaret keretek tangan (SKT) kedua dari Sampoerna ini sempat "tidur" selama 32 tahun di pasar akibat kerancuan strateginya. Sampoerna Hijau bisa dibilang terlalu "dekat" dengan kakak kandungnya, Dji Sam Soe, sehingga konsumen pada saat itu menilai merek ini tidak memiliki diferensiasi yang jelas.
Kesuksesan Sampoerna Hijau pun baru nampak setelah ia melakukan strategi rejuvenasi (peremajaan) merek. Setelah merevolusi besar-besaran strategi dan taktik pemasaran, serta memperjelas identitas mereknya pada 1990an, merek ini lantas bangkit dan berhasil menjadi salah satu merek papan atas, tidak hanya bagi Sampoerna, tapi juga di Indonesia.
Selain itu juga muncul karakter Geng Hijau, yang sengaja diciptakan untuk menghubungkan antara Sampoerna Hijau dan target pasarnya. Geng Hijau sepertinya menjadi "duta" dalam program rejuvenasi merek yang terkenal dengan slogan citra (tag line): Asyiknya rame-rame ini.
Tak bisa dipungkiri, lewat Geng Hijau dan sejumlah aktivitas below the line yang kuat, Sampoerna Hijau menjadi merek yang benar-benar rame dan menghangatkan suasana persaingan di industri rokok SKT.
Hasil program peremajaan merek ini tentunya masih terasa hingga sekarang untuk Sampoerna Hijau. Penjualannya pun dikabarkan terus meningkat.
Namun seiring semakin ketatnya persaingan di pasar SKT, tentunya Sampoerna Hijau tidak mau menjadi merek yang boring alias menjenuhkan pasar. Ia tidak bisa hanya mengandalkan konsep komunikasi pemasaran yang selama ini ada. Kalau Geng Hijau digunakan melulu sebagai endorser, mungkin saja pasar nantinya bosan.
Menurut saya, Sampoerna Hijau masih dapat tampil menggairahkan. Syaratnya, merek ini haruslah keluar dengan inovasi baru, atau kalau perlu malah sekalian me-reinvent aturan main baru di industrinya. Dengan begitu, penampilannya sebagai merek yang rame dan hot akan secara konsisten dapat terjaga.
Seperti Rod Stewart dan Chrisye yang seolah-olah tak pernah mati dan telah mencapai beberapa titik kesuksesan dalam siklus hidupnya, Sampoerna Hijau pun harus begitu. Ia harus melakukan break with the immediate past. Artinya, kesuksesan masa lalu sudah berlalu, sekaranglah waktunya berpikir kreatif ke depan untuk bisa menciptakan siklus hidup berikutnya.
*www.swa.co.id
Agar Merek Terus Perkasa dan Abadi*
A brand is no different than us, human beings. It has a body, a name, an appearance, thoughts, and a soul. But most importantly, it has a DNA, a genetic code which makes it different, even when it is twin.” (C Plus, Identity+Design Company)
Di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan, yang panjangnya lebih-kurang hanya satu kilometer, terdapat empat rumah makan masakan Sunda: Dapur Sunda, Sambara, Saung Kuring, dan Ikan Bakar Cianjur. Namun simaklah, halaman parkir Dapur Sunda selalu dijejali mobil pengunjung hingga melimpah ke jalanan, sementara yang lainnya tidak – bahkan ada yang lengang. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Bukankah menu yang disediakan praktis sama saja, menu tradisional khas Parahyangan. Sajian semua resto itu sama enaknya. Harganya pun bersaing.
Faktor pembedanya adalah brand atau merek. Brand Dapur Sunda sudah lebih melekat di benak konsumen, karena hadir jauh lebih dulu di kawasan tersebut, dan cabangnya tersebar di beberapa lokasi strategis di Jakarta. Tak kalah penting, brand Dapur Sunda langsung mengaitkan produknya dengan makanan Sunda. Ketika konsumen tak punya banyak waktu untuk merenung-renung, asosiasi merek ini menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan. Dan, ketika jajaran produk, layanan dan suasana yang nyaris sama ditawarkan, maka faktor pembedanya tinggallah merek. Merek yang mudah diingat, serta berasosiasi dengan produk dan kualitasnya. Di situlah pentingnya merek. Era komoditas telah lewat. Kini orang membeli merek, bukan produk.
Itu sebabnya kami tak pernah bosan menyelenggarakan survei ini setiap tahun. Tahun ini merupakan yang keenam kalinya Majalah SWA dan MARS Marketing & Research menyelenggarakan sigi merek-merek terbaik. Lewat sigi ini kita bisa mengetahui kekuatan, posisi, perubahan, dan persaingan setiap merek dengan merek lainnya pada setiap elemen merek yang diukur. Dengan sigi berkelanjutan seperti ini kita bisa mengikuti perkembangan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dari tahun ke tahun, kemudian menarik pelajaran dari sana. Sigi ini bisa menjadi cermin tempat kita berkaca seperti apa dan bagaimana kekuatan merek kita di pasar.
Harus diakui, membangun merek bukanlah upaya mudah. Merek bukan saja harus mudah diingat sehingga menancap di benak konsumen, mudah diucapkan sehingga tak terjadi kerancuan, tetapi sekaligus berasosiasi dengan produk dan kualitas produknya. Dengan pendekatan ekuitas merek (brand equity), maka merek terbaik (best brand) kami artikan sebagai merek yang dikenal secara luas, memiliki persepsi jaminan atas kualitas dan asosiasi positif, sehingga memiliki kekuatan untuk menarik konsumen sekaligus dipercaya mampu memenuhi harapannya, dan menyebabkan konsumen bergantung padanya.
Untuk membangun merek yang seperti ini tentu perlu upaya promosi yang biayanya tak jarang mencapai miliaran rupiah, sehingga masih ada juga pengusaha yang setengah hati mengembangkan mereknya.
Namun satu hal yang harus disadari benar: upaya membangun merek adalah upaya meraih keberhasilan. Merek yang kuat akan membuat produk Anda menonjol walaupun berada di belantara ribuan produk sejenis yang saling berebut perhatian. Merek yang baik akan mampu membangun persepsi istimewa, yang membuat harga produk dengan bahan baku dan kualitas yang sama terdongkrak puluhan bahkan ratusan kali lipat. Singkatnya, upaya membangun merek adalah investasi, bukan sekadar biaya – apalagi pemborosan.
Satu lagi: upaya membangun merek tak selamanya bermakna biaya besar. Jika Anda kreatif, dengan dana yang terbatas pun Anda bisa membuat merek Anda berjaya. Seperti contoh kasus yang dipaparkan pada salah satu bagian dari rangkaian Sajian Utama ini.
Dari tahun ke tahun kami terus memperbaiki metodologi yang digunakan demi meningkatkan kualitas sigi ini. Agar bisa lebih mewakili khalayak, kali ini jumlah kota yang disigi ditingkatkan dari enam kota menjadi tujuh kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar dan Denpasar.
Untuk memperkaya kajian tentang merek ini, kami juga melakukan sigi tambahan: Indonesia Long-Life Brand; Indonesia Original Brand; dan Indonesia Promising New Brand.
Indonesia Long-Life Brand adalah merek-merek yang telah berusia di atas 25 tahun dan masih tetap eksis di pasar. Merek ini bisa merek Indonesia asli ataupun merek dari perusahaan multinasional, tapi harus merupakan merek yang secara khusus diciptakan di dan untuk pasar Indonesia. Berdasarkan pilihan responden, enam besar Indonesia Long-Life Brand adalah: Dji Sam Soe, Indomie, Aqua, Teh Botol Sosro, ABC, dan Gudang Garam.
Adapun Indonesia Original Brand adalah merek-merek asli Indonesia yang telah berusia di atas dua tahun, memiliki reputasi internasional, serta kinerja pasarnya cemerlang – ditandai dengan pangsa pasarnya dominan, citranya bagus, dan mereknya berpotensi diekstensi ke produk-produk lain. Enam besar Indonesia Original Brand pilihan responden adalah: Indomie, Extra Joss, Teh Botol Sosro, Aqua, Kacang Garuda, dan Sampoerna A Mild.
Sementara Indonesia Promising New Brand adalah merek-merek yang selama dua tahun terakhir menonjol pengembangan mereknya, kinerja pasarnya baik dan tren penjualannya terus meningkat. Merek ini bisa saja dari perusahaan multinasional, tapi harus merupakan merek yang secara khusus diciptakan di dan untuk pasar Indonesia. Enam besar Indonesia Promising New Brand ini adalah: Mie Sedaap, J.Co, Gery, Mizone, Extra Joss, dan Esia.
*www.swa.co.id
Di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan, yang panjangnya lebih-kurang hanya satu kilometer, terdapat empat rumah makan masakan Sunda: Dapur Sunda, Sambara, Saung Kuring, dan Ikan Bakar Cianjur. Namun simaklah, halaman parkir Dapur Sunda selalu dijejali mobil pengunjung hingga melimpah ke jalanan, sementara yang lainnya tidak – bahkan ada yang lengang. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Bukankah menu yang disediakan praktis sama saja, menu tradisional khas Parahyangan. Sajian semua resto itu sama enaknya. Harganya pun bersaing.
Faktor pembedanya adalah brand atau merek. Brand Dapur Sunda sudah lebih melekat di benak konsumen, karena hadir jauh lebih dulu di kawasan tersebut, dan cabangnya tersebar di beberapa lokasi strategis di Jakarta. Tak kalah penting, brand Dapur Sunda langsung mengaitkan produknya dengan makanan Sunda. Ketika konsumen tak punya banyak waktu untuk merenung-renung, asosiasi merek ini menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan. Dan, ketika jajaran produk, layanan dan suasana yang nyaris sama ditawarkan, maka faktor pembedanya tinggallah merek. Merek yang mudah diingat, serta berasosiasi dengan produk dan kualitasnya. Di situlah pentingnya merek. Era komoditas telah lewat. Kini orang membeli merek, bukan produk.
Itu sebabnya kami tak pernah bosan menyelenggarakan survei ini setiap tahun. Tahun ini merupakan yang keenam kalinya Majalah SWA dan MARS Marketing & Research menyelenggarakan sigi merek-merek terbaik. Lewat sigi ini kita bisa mengetahui kekuatan, posisi, perubahan, dan persaingan setiap merek dengan merek lainnya pada setiap elemen merek yang diukur. Dengan sigi berkelanjutan seperti ini kita bisa mengikuti perkembangan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dari tahun ke tahun, kemudian menarik pelajaran dari sana. Sigi ini bisa menjadi cermin tempat kita berkaca seperti apa dan bagaimana kekuatan merek kita di pasar.
Harus diakui, membangun merek bukanlah upaya mudah. Merek bukan saja harus mudah diingat sehingga menancap di benak konsumen, mudah diucapkan sehingga tak terjadi kerancuan, tetapi sekaligus berasosiasi dengan produk dan kualitas produknya. Dengan pendekatan ekuitas merek (brand equity), maka merek terbaik (best brand) kami artikan sebagai merek yang dikenal secara luas, memiliki persepsi jaminan atas kualitas dan asosiasi positif, sehingga memiliki kekuatan untuk menarik konsumen sekaligus dipercaya mampu memenuhi harapannya, dan menyebabkan konsumen bergantung padanya.
Untuk membangun merek yang seperti ini tentu perlu upaya promosi yang biayanya tak jarang mencapai miliaran rupiah, sehingga masih ada juga pengusaha yang setengah hati mengembangkan mereknya.
Namun satu hal yang harus disadari benar: upaya membangun merek adalah upaya meraih keberhasilan. Merek yang kuat akan membuat produk Anda menonjol walaupun berada di belantara ribuan produk sejenis yang saling berebut perhatian. Merek yang baik akan mampu membangun persepsi istimewa, yang membuat harga produk dengan bahan baku dan kualitas yang sama terdongkrak puluhan bahkan ratusan kali lipat. Singkatnya, upaya membangun merek adalah investasi, bukan sekadar biaya – apalagi pemborosan.
Satu lagi: upaya membangun merek tak selamanya bermakna biaya besar. Jika Anda kreatif, dengan dana yang terbatas pun Anda bisa membuat merek Anda berjaya. Seperti contoh kasus yang dipaparkan pada salah satu bagian dari rangkaian Sajian Utama ini.
Dari tahun ke tahun kami terus memperbaiki metodologi yang digunakan demi meningkatkan kualitas sigi ini. Agar bisa lebih mewakili khalayak, kali ini jumlah kota yang disigi ditingkatkan dari enam kota menjadi tujuh kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar dan Denpasar.
Untuk memperkaya kajian tentang merek ini, kami juga melakukan sigi tambahan: Indonesia Long-Life Brand; Indonesia Original Brand; dan Indonesia Promising New Brand.
Indonesia Long-Life Brand adalah merek-merek yang telah berusia di atas 25 tahun dan masih tetap eksis di pasar. Merek ini bisa merek Indonesia asli ataupun merek dari perusahaan multinasional, tapi harus merupakan merek yang secara khusus diciptakan di dan untuk pasar Indonesia. Berdasarkan pilihan responden, enam besar Indonesia Long-Life Brand adalah: Dji Sam Soe, Indomie, Aqua, Teh Botol Sosro, ABC, dan Gudang Garam.
Adapun Indonesia Original Brand adalah merek-merek asli Indonesia yang telah berusia di atas dua tahun, memiliki reputasi internasional, serta kinerja pasarnya cemerlang – ditandai dengan pangsa pasarnya dominan, citranya bagus, dan mereknya berpotensi diekstensi ke produk-produk lain. Enam besar Indonesia Original Brand pilihan responden adalah: Indomie, Extra Joss, Teh Botol Sosro, Aqua, Kacang Garuda, dan Sampoerna A Mild.
Sementara Indonesia Promising New Brand adalah merek-merek yang selama dua tahun terakhir menonjol pengembangan mereknya, kinerja pasarnya baik dan tren penjualannya terus meningkat. Merek ini bisa saja dari perusahaan multinasional, tapi harus merupakan merek yang secara khusus diciptakan di dan untuk pasar Indonesia. Enam besar Indonesia Promising New Brand ini adalah: Mie Sedaap, J.Co, Gery, Mizone, Extra Joss, dan Esia.
*www.swa.co.id
Ketika Brand adalah Segalanya*
Di era ekonomi citra sekarang ini, brand menjadi aset terpenting yang memukau konsumen dan menentukan sukses atau gagalnya perusahaan. Tak heran, brand-brand kuat menjadi rebutan pebisnis dan diperjualbelikan sebagai jalan pintas meraih sukses. Namun, mengapa banyak perusahaan kita yang masih setengah hati membangun brand-nya?
”What is in a name?” begitu penggalan ucapan William Shakespeare yang paling banyak dikutip. ”Mawar tetaplah harum meski namanya diganti dengan apa pun,” lanjut pujangga Inggris ini. William keliru besar. Mawar memang tetap harum seandainya namanya diganti. Namun, yang dicari orang adalah mawar – bukan bunga yang beraroma harum, berwarna indah, dan memiliki kelopak berlapis-lapis. Mawar sudah menjadi representasi dan asosiasi dari keharuman dan keindahan itu sendiri. Jika namanya diganti, para pecintanya akan menampik dan berpaling darinya.
Nama, brand atau merek adalah representasi dan asosiasi sebuah produk – baik mutu, harga, nilai, maupun gengsinya. Sepotong nama ini bisa berarti banyak. Brand adalah pukau, daya pikat, pesona sekaligus pembeda produk yang satu dari yang lain. Brand inilah yang memikat orang hingga mengagumi, memburu dan membeli sebuah produk atau karya. Tanpa brand yang menancap kuat di benak konsumen, sebuah produk hanyalah komoditas yang dihargai rendah meski mungkin dari sisi fungsional manfaatnya sama. Namun dengan brand yang kuat, harga produk yang sama tadi bisa menjadi berlipat ganda – bahkan priceless. Inilah yang membuat Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut di era ekonomi citra (the image economy) kini, peranan brand sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda.
Stephen King, CEO WPP Group, London, mendefinisikan produk sebagai barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. “Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” katanya.
Simak saja brand GE (General Electric) dan Coca-Cola. Kedua merek ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan ketika tulang-belulang Dr. Thomas Alva Edison (pendiri GE) dan Dr. John S. Pemberton (pendiri Coca-Cola), telah memutih bahkan menyatu dengan tanah, kedua brand ini justru makin belia dan menguasai dunia.
Toh, untuk membangun brand yang kokoh dan mampu menggerakkan pembeli dengan suka rela mengeluarkan uangnya tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu relatif panjang untuk membuktikan keperkasaan merek, dan menjadikannya sebagai itik bertelur emas, yang terus-menerus menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Alhasil, untuk memperoleh merek yang bagus, orang tak ragu membeli merek itu; mengakuisisi seluruh atau sebagian besar saham perusahaan; atau menjalin kemitraan dengan pemilik merek cemerlang tadi. Ketiga pola ini banyak diterapkan perusahaan yang ingin menguasai atau turut merasakan sawab merek ini.
Pola pertama dilakukan The Coca-Cola Company ketika membeli brand AdeS, air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat itu (tahun 2000) menduduki peringkat kedua pangsa pasar AMDK. Perusahaan ini rela menggerojokkan dana US$ 19,9 juta untuk mengambil alih brand AdeS dan beberapa merek lainnya (Desca, Desta dan Vica) di bawah PT Ades Alfindo Putra Setia. Pola ini juga dilakukan Unilever pada Sariwangi.
Pola kedua dilakukan Danone ketika mengakuisisi sebagian saham PT Aqua Golden Mississippi. Ketika itu, tahun 1999, produsen AMDK bermerek Aqua ini sedang kesulitan keuangan akibat krisis moneter yang melambungkan harga patokan eceran tertinggi kemasan AMDK, yang harus diimpor.
Pola ketiga juga bisa kita lihat pada kasus Aqua-Danone. Bermitra dengan perusahaan asal Prancis ini, merek Aqua ikut terkatrol. Danone adalah pemilik merek Evian, Ferarele, Volvic; Danone menguasai pasar lapisan atas, tengah hingga bawah; serta menjadi penguasa pasar di banyak belahan dunia. Evian, Ferarele dan Danone berjaya di pasar Eropa. Adapun di Amerika Serikat ia berkibar dengan bendera Danon (bukan Danone). Dengan menggandeng Danone dan melakukan co-branding, Aqua bisa lebih mudah menembus pasar ekspor. Sebaliknya, dengan bendera Aqua, Danone bisa menembus pasar Indonesia (yang sangat besar dan potensial), serta negara jiran seperti Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Berkat gandengan ini Aqua menjadi merek tunggal terbesar dengan volume penjualan terbesar di seluruh dunia.
Akuisisi merek – atau perusahaan pemilik merek – memang merupakan jalan pintas dalam strategi pertumbuhan anorganik. Ketimbang harus menunggu bagian riset dan pengembangan mengembangkan produk baru, meluncurkannya ke pasar, menggadang-gadangnya hingga kinclong dan menjadi jagoan, akan jauh lebih cepat dan kurang berisiko jika mengakuisisi merek yang telah mumpuni dan memiliki pasar yang loyal. Apalagi kita masih ingat sejumlah kegagalan meluncurkan merek. Bahkan raksasa sekaliber Unilever yang begitu berpengalaman dan tebal koceknya pun pernah tersandung ketika meluncurkan Tara Nasiku (1999)
Maka, logislah bila yang diakuisisi adalah merek-merek yang berkibar, seperti: Aqua oleh Danone; AdeS oleh Coca-Cola; kecap Bango, teh Sariwangi, snack Taro, jus Buavita dan Go-Go oleh Unilever; ABC oleh Heinz; kopi Tugu Luwak dan kecap Piring Lombok oleh Indofood; dan sebagainya. Konsekuensinya, tentu harganya tinggi. Pasalnya, ke dalam perhitungan harga ini termasuk pula nilai merek di mata konsumen, pangsa pasar, loyalitas konsumen, dan potensinya merebut konsumen masa depan, serta tentu saja goodwill-nya.
Pertanyaannya, jika memang merek itu kinclong dan merupakan itik bertelur emas yang terus-menerus menghasilkan untung, mengapa sang pemilik merek mau menjualnya. Ada banyak alasan. Mulai yang karena terjadi konflik di dalam keluarga pemilik merek seperti kasus kecap Bango; kekurangan modal atau terjepit posisi keuangannya (Aqua); membutuhkan mitra strategis (ABC, dan Aqua); hingga yang pemiliknya ingin beralih ke bisnis yang sama sekali berbeda (Sampoerna).
Apa pun alasannya, kita tentunya berharap agar akuisisi brand ini bersifat win-win, kedua pihak sama-sama puas dan meraih untung. Untuk itu kedua pihak harus terbuka dan memikirkannya masak-masak. Pemilik brand harus mengalkulasi apakah imbalan yang diterima cukup layak sebagai pengganti itik bertelur emasnya, dan apakah ia telah siap dengan bisnis penggantinya – baik dari sisi dana maupun kompetensi. Jika harus bermitra, harus ditelisik apakah mitra yang bakal disanding itu memang strategis untuk memperkuat bisnisnya, serta mampu menyumbang lebih banyak manfaat ketimbang mudarat. Begitu pula, pembeli merek pun perlu berhitung agar tak menyesal karena merasa membeli kucing dalam karung, bukan itik bertelur emas.
*www.swa.co.id
”What is in a name?” begitu penggalan ucapan William Shakespeare yang paling banyak dikutip. ”Mawar tetaplah harum meski namanya diganti dengan apa pun,” lanjut pujangga Inggris ini. William keliru besar. Mawar memang tetap harum seandainya namanya diganti. Namun, yang dicari orang adalah mawar – bukan bunga yang beraroma harum, berwarna indah, dan memiliki kelopak berlapis-lapis. Mawar sudah menjadi representasi dan asosiasi dari keharuman dan keindahan itu sendiri. Jika namanya diganti, para pecintanya akan menampik dan berpaling darinya.
Nama, brand atau merek adalah representasi dan asosiasi sebuah produk – baik mutu, harga, nilai, maupun gengsinya. Sepotong nama ini bisa berarti banyak. Brand adalah pukau, daya pikat, pesona sekaligus pembeda produk yang satu dari yang lain. Brand inilah yang memikat orang hingga mengagumi, memburu dan membeli sebuah produk atau karya. Tanpa brand yang menancap kuat di benak konsumen, sebuah produk hanyalah komoditas yang dihargai rendah meski mungkin dari sisi fungsional manfaatnya sama. Namun dengan brand yang kuat, harga produk yang sama tadi bisa menjadi berlipat ganda – bahkan priceless. Inilah yang membuat Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut di era ekonomi citra (the image economy) kini, peranan brand sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda.
Stephen King, CEO WPP Group, London, mendefinisikan produk sebagai barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. “Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” katanya.
Simak saja brand GE (General Electric) dan Coca-Cola. Kedua merek ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan ketika tulang-belulang Dr. Thomas Alva Edison (pendiri GE) dan Dr. John S. Pemberton (pendiri Coca-Cola), telah memutih bahkan menyatu dengan tanah, kedua brand ini justru makin belia dan menguasai dunia.
Toh, untuk membangun brand yang kokoh dan mampu menggerakkan pembeli dengan suka rela mengeluarkan uangnya tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu relatif panjang untuk membuktikan keperkasaan merek, dan menjadikannya sebagai itik bertelur emas, yang terus-menerus menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Alhasil, untuk memperoleh merek yang bagus, orang tak ragu membeli merek itu; mengakuisisi seluruh atau sebagian besar saham perusahaan; atau menjalin kemitraan dengan pemilik merek cemerlang tadi. Ketiga pola ini banyak diterapkan perusahaan yang ingin menguasai atau turut merasakan sawab merek ini.
Pola pertama dilakukan The Coca-Cola Company ketika membeli brand AdeS, air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat itu (tahun 2000) menduduki peringkat kedua pangsa pasar AMDK. Perusahaan ini rela menggerojokkan dana US$ 19,9 juta untuk mengambil alih brand AdeS dan beberapa merek lainnya (Desca, Desta dan Vica) di bawah PT Ades Alfindo Putra Setia. Pola ini juga dilakukan Unilever pada Sariwangi.
Pola kedua dilakukan Danone ketika mengakuisisi sebagian saham PT Aqua Golden Mississippi. Ketika itu, tahun 1999, produsen AMDK bermerek Aqua ini sedang kesulitan keuangan akibat krisis moneter yang melambungkan harga patokan eceran tertinggi kemasan AMDK, yang harus diimpor.
Pola ketiga juga bisa kita lihat pada kasus Aqua-Danone. Bermitra dengan perusahaan asal Prancis ini, merek Aqua ikut terkatrol. Danone adalah pemilik merek Evian, Ferarele, Volvic; Danone menguasai pasar lapisan atas, tengah hingga bawah; serta menjadi penguasa pasar di banyak belahan dunia. Evian, Ferarele dan Danone berjaya di pasar Eropa. Adapun di Amerika Serikat ia berkibar dengan bendera Danon (bukan Danone). Dengan menggandeng Danone dan melakukan co-branding, Aqua bisa lebih mudah menembus pasar ekspor. Sebaliknya, dengan bendera Aqua, Danone bisa menembus pasar Indonesia (yang sangat besar dan potensial), serta negara jiran seperti Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Berkat gandengan ini Aqua menjadi merek tunggal terbesar dengan volume penjualan terbesar di seluruh dunia.
Akuisisi merek – atau perusahaan pemilik merek – memang merupakan jalan pintas dalam strategi pertumbuhan anorganik. Ketimbang harus menunggu bagian riset dan pengembangan mengembangkan produk baru, meluncurkannya ke pasar, menggadang-gadangnya hingga kinclong dan menjadi jagoan, akan jauh lebih cepat dan kurang berisiko jika mengakuisisi merek yang telah mumpuni dan memiliki pasar yang loyal. Apalagi kita masih ingat sejumlah kegagalan meluncurkan merek. Bahkan raksasa sekaliber Unilever yang begitu berpengalaman dan tebal koceknya pun pernah tersandung ketika meluncurkan Tara Nasiku (1999)
Maka, logislah bila yang diakuisisi adalah merek-merek yang berkibar, seperti: Aqua oleh Danone; AdeS oleh Coca-Cola; kecap Bango, teh Sariwangi, snack Taro, jus Buavita dan Go-Go oleh Unilever; ABC oleh Heinz; kopi Tugu Luwak dan kecap Piring Lombok oleh Indofood; dan sebagainya. Konsekuensinya, tentu harganya tinggi. Pasalnya, ke dalam perhitungan harga ini termasuk pula nilai merek di mata konsumen, pangsa pasar, loyalitas konsumen, dan potensinya merebut konsumen masa depan, serta tentu saja goodwill-nya.
Pertanyaannya, jika memang merek itu kinclong dan merupakan itik bertelur emas yang terus-menerus menghasilkan untung, mengapa sang pemilik merek mau menjualnya. Ada banyak alasan. Mulai yang karena terjadi konflik di dalam keluarga pemilik merek seperti kasus kecap Bango; kekurangan modal atau terjepit posisi keuangannya (Aqua); membutuhkan mitra strategis (ABC, dan Aqua); hingga yang pemiliknya ingin beralih ke bisnis yang sama sekali berbeda (Sampoerna).
Apa pun alasannya, kita tentunya berharap agar akuisisi brand ini bersifat win-win, kedua pihak sama-sama puas dan meraih untung. Untuk itu kedua pihak harus terbuka dan memikirkannya masak-masak. Pemilik brand harus mengalkulasi apakah imbalan yang diterima cukup layak sebagai pengganti itik bertelur emasnya, dan apakah ia telah siap dengan bisnis penggantinya – baik dari sisi dana maupun kompetensi. Jika harus bermitra, harus ditelisik apakah mitra yang bakal disanding itu memang strategis untuk memperkuat bisnisnya, serta mampu menyumbang lebih banyak manfaat ketimbang mudarat. Begitu pula, pembeli merek pun perlu berhitung agar tak menyesal karena merasa membeli kucing dalam karung, bukan itik bertelur emas.
*www.swa.co.id
Senin, 05 Mei 2008
Program Loyalitas ≠ Kampanye Pemasaran*
Sebelumnya, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan loyalitas. Loyalitas merupakan keterikatan emosional terhadap -- atau hubungan kepercayaan dengan -- suatu produk, merek atau layanan. Contoh sederhana adalah penggunaan suatu produk selama bertahun-tahun ataupun ekstensinya. Misalnya, bila selama ini menggunakan produk lipstik merek A, pada saat merek A meluncurkan produk cat kuku baru, Anda membelinya berdasarkan kredibilitas merek.
Berhasilnya program loyalitas membutuhkan para pelaksana memahami pelanggannya, serta tingkat investasi yang diperlukan untuk ?menangkap? loyalitas pelanggan. Perlu diketahui, hampir 70% program loyalitas yang ada, tak mampu mengantarkan harapan atas keuntungan yang diperoleh pelanggan.
Berdasarkan penelitian Accenture beberapa waktu lalu, loyalitas seperti itu lebih murah dipelihara ketimbang mencari pelanggan baru. Ada empat kunci pokok munculnya loyalitas, yang intinya merupakan variasi antara kebiasaan, pelayanan, jaminan dan komunikasi. Yang jelas, para pengguna melihat 27% berdasarkan nilai harga dan layanan, 16% pada nilai uang yang dikeluarkan, 10% pada kualitas produk, 27% pada layanan cepat dan efisien, 6% karena melayani dengan manis dan bersahabat, 10% karena kebiasaan, dan 5% karena skema bonus dan nama yang terkenal.
Di samping itu, direct mail dianggap sebagai alat yang cukup kuat, karena dari 58% koresponden menyatakan akan menggunakan perusahaan yang sama bila ada penawaran melalui surat, 43% bahkan telah membeli produk sebagai hasil direct mail di mana 75% adalah dari sektor ritel.
Namun perlu diperhatikan bahwa loyalitas tidak dapat dipacu hanya dengan program pemasaran. Alasan pertama, program loyalitas memerlukan teknologi dan infrastruktur karena keduanya memberi dampak terhadap pengantaran operasional dan jasa, sekaligus memengaruhi perubahan dinamika harga. Alasan kedua, perusahaan kadang terlalu cepat membuat keputusan bahwa loyalitas pelanggan menjadi taktik pemasaran, padahal pendekatan pemasaran yang mengandalkan promosi menghadapi beberapa isu: (1) Jangan mencoba melakukan perubahan yang berkesinambungan untuk perilaku pelanggan. (2) Mudah ditiru pesaing. (3) Sulit melepaskan diri dari program dan mahal bila menciptakan program defensif.
Loyalitas juga tidak dapat dihasilkan melalui program reward saja. Bila program pemasaran loyalitas hanya merupakan pengumpulan poin, berarti konsumen akhirnya ?membeli? loyalitas, bukan memperolehnya. Akhirnya, loyalitas muncul terhadap program, bukan pada produk atau perusahaan. Program reward saja dapat dengan mudah direplikasi kompetitor, mudah menjadi komoditas umum dan merupakan perangkat defensif yang tidak mudah melepaskan diri.
Pada dasarnya, kami melihat bahwa program loyalitas merupakan produk strategis, bukan sekadar kampanye pemasaran. Strategi meningkatkan loyalitas pelanggan, intinya memerlukan: (1) Infrastruktur untuk menangkap dan mendesiminasi informasi pelanggan. (2) Insight untuk memahami dan memprediksi nilai bagi pelanggan, harapan dan perilaku. (3) Manajemen interaksi untuk mengaplikasi insight dan meningkatkan nilai bagi tiap hubungan dengan pelanggan. (4) Komitmen organisasi untuk mengelola diri terhadap nilai lebih atas pelanggan.
Berdasarkan pengalaman mengelola program loyalitas, kapabilitas yang harus dikembangkan oleh pemilik inisiatif adalah dalam hal: (1) Menentukan positioning program loyalitas, yaitu objektif, segmentasi, target kelompok dan kompetitor. Langkah pertama menentukan bagaimana kelompok pelanggan disegmentasi. Dari titik ini pemahaman atas kebutuhan dan keinginan segmen dapat ditentukan, lalu dikembangkan menjadi program loyalitas yang sesuai bidikan agar membantu menarik dan memelihara pelanggan, sekaligus mengontrol sesuai bujet dan biaya. (2) Mendesain produk loyalitas, antara lain menentukan mekanisme pengumpulan dan penukaran poin atau kupon, tingkatan status anggota dan kemitraan. Seharusnya ada fleksibilitas dalam menentukan opsi penukaran (baik produk maupun kanal) agar memberi kenyamanan maksimal bagi beragam segmen pelanggan.
(3) Kemampuan melakukan studi kelayakan pasar, yaitu pre-test terhadap pasar, menerapkan kasus bisnis dan kapabilitas organisasi. (4) Perencanaan penerobosan ke pasar dengan strategi komunikasi yang menarik melalui beragam kanal, antara lain Web, langsung, massa, mobile dan aktivitas peningkatan brand awareness. (5) Perencanaan roll-out ke pasar, yaitu implementasi, monitoring kinerja dan strategi menghentikan program.
Dengan mempertimbangkan berbagai isu di atas dan mengembangkan kapabilitas dalam mendesain serta mengelola program loyalitas, maka diharapkan bukan 70% program gagal, akan tetapi paling tidak 70% berhasil.
*www.swa.co.id
Berhasilnya program loyalitas membutuhkan para pelaksana memahami pelanggannya, serta tingkat investasi yang diperlukan untuk ?menangkap? loyalitas pelanggan. Perlu diketahui, hampir 70% program loyalitas yang ada, tak mampu mengantarkan harapan atas keuntungan yang diperoleh pelanggan.
Berdasarkan penelitian Accenture beberapa waktu lalu, loyalitas seperti itu lebih murah dipelihara ketimbang mencari pelanggan baru. Ada empat kunci pokok munculnya loyalitas, yang intinya merupakan variasi antara kebiasaan, pelayanan, jaminan dan komunikasi. Yang jelas, para pengguna melihat 27% berdasarkan nilai harga dan layanan, 16% pada nilai uang yang dikeluarkan, 10% pada kualitas produk, 27% pada layanan cepat dan efisien, 6% karena melayani dengan manis dan bersahabat, 10% karena kebiasaan, dan 5% karena skema bonus dan nama yang terkenal.
Di samping itu, direct mail dianggap sebagai alat yang cukup kuat, karena dari 58% koresponden menyatakan akan menggunakan perusahaan yang sama bila ada penawaran melalui surat, 43% bahkan telah membeli produk sebagai hasil direct mail di mana 75% adalah dari sektor ritel.
Namun perlu diperhatikan bahwa loyalitas tidak dapat dipacu hanya dengan program pemasaran. Alasan pertama, program loyalitas memerlukan teknologi dan infrastruktur karena keduanya memberi dampak terhadap pengantaran operasional dan jasa, sekaligus memengaruhi perubahan dinamika harga. Alasan kedua, perusahaan kadang terlalu cepat membuat keputusan bahwa loyalitas pelanggan menjadi taktik pemasaran, padahal pendekatan pemasaran yang mengandalkan promosi menghadapi beberapa isu: (1) Jangan mencoba melakukan perubahan yang berkesinambungan untuk perilaku pelanggan. (2) Mudah ditiru pesaing. (3) Sulit melepaskan diri dari program dan mahal bila menciptakan program defensif.
Loyalitas juga tidak dapat dihasilkan melalui program reward saja. Bila program pemasaran loyalitas hanya merupakan pengumpulan poin, berarti konsumen akhirnya ?membeli? loyalitas, bukan memperolehnya. Akhirnya, loyalitas muncul terhadap program, bukan pada produk atau perusahaan. Program reward saja dapat dengan mudah direplikasi kompetitor, mudah menjadi komoditas umum dan merupakan perangkat defensif yang tidak mudah melepaskan diri.
Pada dasarnya, kami melihat bahwa program loyalitas merupakan produk strategis, bukan sekadar kampanye pemasaran. Strategi meningkatkan loyalitas pelanggan, intinya memerlukan: (1) Infrastruktur untuk menangkap dan mendesiminasi informasi pelanggan. (2) Insight untuk memahami dan memprediksi nilai bagi pelanggan, harapan dan perilaku. (3) Manajemen interaksi untuk mengaplikasi insight dan meningkatkan nilai bagi tiap hubungan dengan pelanggan. (4) Komitmen organisasi untuk mengelola diri terhadap nilai lebih atas pelanggan.
Berdasarkan pengalaman mengelola program loyalitas, kapabilitas yang harus dikembangkan oleh pemilik inisiatif adalah dalam hal: (1) Menentukan positioning program loyalitas, yaitu objektif, segmentasi, target kelompok dan kompetitor. Langkah pertama menentukan bagaimana kelompok pelanggan disegmentasi. Dari titik ini pemahaman atas kebutuhan dan keinginan segmen dapat ditentukan, lalu dikembangkan menjadi program loyalitas yang sesuai bidikan agar membantu menarik dan memelihara pelanggan, sekaligus mengontrol sesuai bujet dan biaya. (2) Mendesain produk loyalitas, antara lain menentukan mekanisme pengumpulan dan penukaran poin atau kupon, tingkatan status anggota dan kemitraan. Seharusnya ada fleksibilitas dalam menentukan opsi penukaran (baik produk maupun kanal) agar memberi kenyamanan maksimal bagi beragam segmen pelanggan.
(3) Kemampuan melakukan studi kelayakan pasar, yaitu pre-test terhadap pasar, menerapkan kasus bisnis dan kapabilitas organisasi. (4) Perencanaan penerobosan ke pasar dengan strategi komunikasi yang menarik melalui beragam kanal, antara lain Web, langsung, massa, mobile dan aktivitas peningkatan brand awareness. (5) Perencanaan roll-out ke pasar, yaitu implementasi, monitoring kinerja dan strategi menghentikan program.
Dengan mempertimbangkan berbagai isu di atas dan mengembangkan kapabilitas dalam mendesain serta mengelola program loyalitas, maka diharapkan bukan 70% program gagal, akan tetapi paling tidak 70% berhasil.
*www.swa.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)